Selasa, 26 April 2011

KEBIJAKAN POLITIK INDONESIA BAIK PEMBANGUNAN NASIONAL MAUPUN PEMBANGUNAN SEKTORAL (DAERAH) DENGAN KEBIJAKAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

Kehidupan ekonomi Negara berkembang selalu terwarnai dengan sebuah permasalahan terhambatnya pembangunan yang ada lantaran kemampuan dari Negara tersebut untuk menghidupi proses pembangunan yang sedang dilakukan memiliki keterbatasan.
Keterbatasan tersebut seringkali membuat Negara perlu untuk memikirkan mekanisme penerimaan yang mampu mengatasi problem tersebut. Dengan sederhana kita bisa melihat bahwa sumber penerimaan Negara adalah melalui pajak terhadap masyarakatnya, namun bila hal ini belum dapat memenuhi tuntutan yang ada maka negara akan mengambil sebuah alternatif pembiayaan, yaitu pembiayaan melalui utang.
Utang tersebut dapat berasal dari Swasta, Negara Lain, Lembaga Donor, ataupun dari masyarakat. Konteks utang yang akan diterima pun dapat berupa hibah, pinjaman lunak, pinjaman program, maupun surat berharga.
Pada prinsipnya kemunculan utang sebagai sebuah pembiayaan bagi negara memang tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keniscayaan. Mengingat kita bisa melihat sebuah negara yang ingin berkembang menjadi lebih baik perlu pembiayaan yang tidak sedikit, apalagi proses pembangunan yang ada merupakan fondasi awal bagi pembangunan berkelanjutan untuk negara tersebut.
Untuk itu kita harus melihat utang bukan sebagai sebuah hal yang merugikan, tetapi ia memiliki potensi keuntungan yang besar, bila kita cermat dalam memilih utang yang kita inginkan, dan memperhatikan potensi pengembalian dari utang tersebut. Secara sederhana kita bisa melihat bahwa utang akan menjadi bermanfaat bila disertai dengan sebuah analisa mengenai kemungkinan pengembalian dari utang tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hubungan suatu negara dengan dengan pendonor utang, memiliki sebuah pertimbangan khusus dalam memilih pendonor utang tersebut. Artinya kita memandang bahwa hubungan yang baik melalui utang ini diharapkan dapat memberikan sebuah posisi yang baik bagi negara penerima utang di mata dunia Internasional, sehingga dapat kita istilahkan sebagai negara yang Good Boy
Tentu kita melihat bahwa utang memiliki potensi kegagalan dalam implementasinya dan juga dalam proses pembayaran kembali utang tersebut, untuk itu akan menjadi hal yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut mengenai hubungan antara negara penerima dan pendonor.
Berangkat dari hal tersebut maka hubungan ini, akan menciptakan sebuah arus kepentingan yang bersifat jangka panjang, mengingat periode dan pembayaran dari utang tersebut yang memakan waktu lama.

Maka dari itu proses pembinaan hubungan ini menjadi hal yang fluktuatif layaknya hubungan antara institusi, dimana kadang hubungan tersebut berlangsung dengan baik, ataupun memburuk, bahkan sampai dalam kategori pemutusan hubungan. Tentunya harus kita pahami bahwa sikap yang diambil terhadap hubungan tersebut memang memiliki nilai historis yang tidak dapat dipandang sebelah mata, hal ini disebabkan karena pertimbangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk mengambil sikap dapat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi negara tersebut. Keinginan dari pemerintah yang berkuasa untuk memandang hubungan tersebut menjadi poin utama proses tersebut. Untuk itu mempelajari masalah utang dan kaitannya antara peran negara dengan pendonor harus dilihat dalam situasi yang bersifat historis dengan memperhatikan kondisi-kondisi ekonomi dan politik yang sedang dihadapi oleh sebuah negara.
Indonesia sebagai sebuah Negara berkembang dan pernah menjadi salah satu Negara yang diperhitungkan dalam percaturan ekonomi Asia Tenggara, bahkan dalam kurun waktu 1996-1997, atau periode menjelang krisis Indonesia mendapatkan gelar sebagai salah satu Macan Asia. Hal ini disebabkan karena pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun tidak banyak yang menyadari bahwa fundamental dari ekonomi Indonesia sesungguhnya sangatlah rapuh, hal ini kita bisa lihat pada saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Indonesia menjadi Negara yang paling parah terkena dampak dari krisis dan hingga hari masih dalam proses perbaikan, jauh tertinggal dengan Negara Asia Tenggara yang lain seperti Thailand dan Malaysia yang telah melewati pasca krisis tersebut.
Pembangunan yang dilakukan meliputi, Pembangunan nasional, yang merupakan usaha untuk menigkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara terus menerus, yang berlandaskan kemampuan nasionla dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Tak lupa juga pembangunan daerah yang berlandaskan nasional dan disesuakan dengan perkembangan keadaan daerah, nasional dan global serta Pembangunan sector yang meliputi usaha untuk menigkatkan kualitas pengaturan penguasaan sumberdaya dan pelayanan kepada masyarakat dan pemerintah dalam rangka pembangunan nasional, daerah, nasional, dan global sesuai dengan ruang lingkup dan tanggung jawab pembangunan sector serta sumberdaya yang ada.

Kebijakan Bidang–bidang yang terdapat ketiga pembangunan tersebut tentunya selalu membutuhkan bantuan untuk terus melakukan perkembangan, Maka dari itu pemerintah melakukan utang luar negeri untuk upaya melakukan pembangunan yang sedang dilakukan.
Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat mutlak bagi Negara-negara dunia ketiga termasuk indonesia, untuk memperkecil jarak ketertinggalannya dibidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari Negara-negara industry maju. Upaya pembanguan ekonomi di Negara- negra atersebut yang umumnya sumber daya ekonomi yang produktif, terutama sumber daya modal yang seringkali berperan sebagai katalisator pembangunan. Untuk mencukupi kekurangan sumberdaya modal ini maka pemerintah mendatangkan sejumlah sumberdaya modal dari luar negeri melalui beberapa jenis pinjaman.
Indonesia selama ini menempatkan utang sebagai salah satu tiang penyangga pembangunan, sebagai komponen penutup kekurangan,. Saat Indonesia mendapat rezeki berlimpah dari oil boom, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam anggaran belanja pemerintah. Bahkan saat indonesiia telah mulai menganut system anggaran deficit sejak tahun 2005, komponen pembiayaan utang luar negeri cukup besar. Padahal di dalam kebijakan ekonomi pemerintah selalu mengatkan bahwa utang luar negeru hanya menjadi pelengkap belaka.


Satu hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana sebuah perekonomian yang pada awalnya memiliki pertumbuhan yang sangat pesat secara tiba-tiba hancur dan runtuh begitu saja. Salah satu hal yang menjadi bagian dari analisa tersebut, adalah mengenai permasalahan penanganan utang Indonesia, dalam hal ini terkait dengan bantuan yang diberikan oleh para Negara donor kepada Indonesia.
Semenjak Indonesia memasuki periode Orde Baru, banyak perubahan yang signifikan yang dilakukan oleh pemerintah kala itu untuk mengejar keterpurukan ekonomi yang ditinggalkan oleh Orde Lama. Salah satu program yang signifikan kala itu adalah membuat mekanisme bantuan luar negeri untuk pembiayaan pembangunan.
Mekanisme bantuan luar negeri yang digunakan pada waktu adalah membentuk konsorsium dengan nama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia ) yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Inggris dan beberapa negara Eropa Barat. Pertemuan IGGI diselenggarakan di Amsterdam, setiap tahun. Indonesia telah menjalin kerjasama dengan IGGI semenjak tahun 1967 hingga tahun 1991. IGGI kemudian berubah nama menjadi CGI (Consultative Gruop on Indonesia) dengan keluarnya Belanda dari keanggotaan dan masuknya 5 negara kreditor baru.
Perjalanan Hubungan Indonesia dengan konsorsium tersebut, menimbulkan sebuah perjalanan sejarah yang menarik untuk di telaah lebih lanjut. Penulis melihat bahwa adanya konsorsium tersebut mempengaruhi proses pembangunan di Indonesia, sehingga pengaruh tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena bantuan yang diberikan bukanlah dalam bentuk hibah, namun dalam bentuk utang, yang tentu saja memiliki kewajiban membayar. Dan tentu dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan bantuan tersebut maka ada kesepakatan yang dibuat antara IGGI/CGI dengan pemerintah. Kesepakatan tersebut tidak hanya bersifat Ekonomi saja tetapi juga masuk ke dalam bidang politik
Masalah yang dapat diangkat lebih mendalam adalah faktor-faktor apa yang membuat kemitraan kita dengan IGGI/CGI berlangsung hingga 39 tahun. Tentu mempelajari proses pengambilan kebijakan ini akan dapat memperlihatkan seberapa besar pengaruh dari IGGI/CGI dan berbagai pihak terkait lainnya dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pemerintah.
Untuk memperjelas analisa yang akan dilakukan terhadap masalah tersebut, penulis akan menganalisa hubungan antara pemerintah dan IGGI/CGI dalam 5 periode waktu. Periode ini dilandaskan kepada periode kepemimpinan bangsa dan kondisi ekonomi bangsa.

Iklim telah menjadi salah satu masalah global yang terpenting saat ini.Indonesia tidak hanya merupakan salah satu penyumbang gas emisi rumah kaca,terutama dari penebangan hutan dan pengalihan lahan gambut, dengan keberadaan18.000 lebih pulau dan sektor pertaniannya yang kuat ia juga sangat terpengaruh olehdampak-dampak perubahan iklim.Sebagai suatu Negara dengan ekonomi yang tumbuh, Indonesia harus menyesuaikan kebijakan lingkungan dengan kepentingan bisnis vital untuk membentuk kerangka “pro-pertumbuhan, pro-orang miskin, pro-lingkungan” yang berkelanjutan. Inijelas bukan pekerjaan gampang. Desentralisasi dan kewenangan yang saling tumpang tindih membutuhkan adanya pendekatan-pendekatan yang inovatif seperti mekanisme anggaran dan insentif yang efektif yang didasarkan pada realita di lapangan. Di lain pihak, sektor usaha seperti
green technology dan energi yang terbarukan tumbuh perlahan, menciptakan peluang bagi Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing untuk mengintensifkan perdagangan bilateral mereka. Sementara memang memahami kompleksitas masalah perubahan iklim sering-kali sangat menantang, sangatlah penting bagi para pembuat kebijakan untuk mampu menghargai argumen-argumen dan faktor-faktor penentu perubahan iklim. Bahasa ilmiah, pemangku kepentingan yang tak terhitung jumlahnya, kebijakan nasional dan perundingan internasional menyulitkan mereka untuk memahami betul soal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar