Sabtu, 26 Februari 2011

Perkembangan Sektor Industri dan Pertanian

Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan usaha. Produk-produk hasil manufaktur di dalam negeri saat ini begitu keluar dari pabrik langsung berkompetisi dengan produk luar, dunia usaha pun harus menerima kenyataan bahwa pesatnya perkembangan teknologi telah mengakibatkan cepat usangnya fasilitas produksi, semakin singkatnya masa edar produk, serta semakin rendahnya margin keuntungan. Dalam melaksanakan proses pembangunan industri, keadaan tersebut merupakan kenyataan yang harus dihadapi serta harus menjadi pertimbangan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan, sekaligus merupakan paradigma baru yang harus dihadapi oleh negara manapun dalam melaksanakan proses industrialisasi negaranya.
Atas dasar pemikiran tersebut kebijakan dalam pembangunan industri Indonesia harus dapat menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus strategi pembangunan industri pada masa depan adalah membangun daya saing sektor industri yang berkelanjutan di pasar domestik.
Prospek perekonomian Indonesia dapat dikatakan baik terutama jika pemulihan ekonomi dunia mulai terjadi pada paruh kedua tahun 2009. Pada saat krisis global melanda perekonomian, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat mencapai 4,4% pada Triwulan I-2009 yang didukung terutama oleh konsumsi masyarakat yang tumbuh 5,8% dan pengeluaran pemerintah. Begitu pula sekalipun ekspor mengalami pertumbuhan negatif lebih dari -20%, namun Neraca Perdagangan dan Neraca Berjalan masih positif, karena pertumbuhan impor negatif lebih besar daripada ekspor. Belakangan ini nilai rupiah dan indeks pasar modal mengalami penguatan signifikan karena prospek perekonomian Indonesia yang dilihat baik dan para investor mulai mengalirkan dananya ke pasar yang diperkirakan memberikan hasil tinggi, terutama di pasar yang sedang berkembang (emerging markets) pasar komoditas.
Penguatan nilai rupiah dan indeks pasar modal diperkirakan masih akan terus berlangsung, sekalipun pada saat tertentu terjadi koreksi. Perkiraan nilai rupiah pada kisaran angka Rp 9500 per US dollar dan indeks pasar modal mencapai 2300 tampaknya tidaklah berlebihan. Begitu pula pasar obligasi mengalami perbaikan singifikan sejalan dengan penurunan CDS (Credit Default Swap) atau asuransi kemungkinan kegagalan kredit menurun tajam dari sekitar 600 basis point menjadi sekitar200 basis point.
Suku bunga juga diperkirakan akan terus mengalami penurunan seiring dengan penurunan inflasi. Tingkat inflasi pada tahun 2009 diperkirakan di bawah 5% dan pada tahun 2010 sekitar 5,5%. Dengan perkiraan inflasi yang rendah ini, besar kemungkinan BI rate akan diturunkan lagi sampai pada kisaran 6,5%. Perbankan masih belum secara signifikan menurunkan bunga pinjamannya, namun langkah perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit pada paruh kedua 2009 akan membawa penurunan bunga pinjaman secara signifikan. Tentu saja bank akan tetap menerapkan prinsip kehati-hatiannya.
Kecenderungan peningkatan harga komoditas belakangan ini yang tidak secara signifikan didukung oleh permintaan menunjukkan bahwa investor keuangan masuk ke pasar komoditas dengan harapan pemulihan ekonomi dunia akan berjalan lebih cepat. Tentu saja ada unsur spekulasi didalamnya, namun unsur spekulasi tersebut tidaklah sebesar pada masa sebelum krisis karena perusahaan keuangan tidak lagi dapat melakukan pinjaman (laverage) sebesar pada masa sebelum krisis. Meningkatnya harga komoditas ini tentu saja di sisi lain mulai mengarah kepada kekhawatiran pengaruhnya pada inflasi dan besarnya subsidi BBM pada APBN kita. Namun kekahwatiran ini dapat diatasi jika kita dapat mengoptimalkan keuntungan kita sebagai negara produsen komoditas.
Prospek perekonomian 2010 dapat dikatakan baik. Jika perekonomian dunia mulai pulih, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dapat kembali ke tingkatan sekitar 6%. Pertumbuhan ekspor, dan tentu saja impor, akan positif lagi. Demikian pula kegiatan investasi dalam maupun luar negeri. Apalagi jika program pembangunan infrastruktur, baik dalam skema kebijakan stimulasi perekonomian, maupun sebagai program yang berkelanjutan dapat mengalami perkembangan yang berarti.
Tantangan perkembangan perekonomian ke depan selain permasalahan pembangunan infrastruktur adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi pada sektor yang lebih mendorong pertumbuhan secara berkesimbangunan dan menciptakan kesempatan kerja yang besar, terutama pada sektor industri manufaktur. Pembangunan infrastruktur telah banyak di bahas, antara lain dengan dua kali infrastrcuture summit, namun pelaksanaannya dapat dikatakan minim. Permasalahannya bukanlah dalam hal pembiayaan tetapi lebih berkaitan dengan permasalahan struktural, seperti pembebasan tanah, tarif, dan kepastian hukum lainnya. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan permasalahan struktural tersebut dapat dipecahkan dengan segera. Namun paling tidak perbaikan yang bertahap akan sangat mendorong perkembangan perekonomian.
Negara berkembang seperti Indonesia dengan PDB yang besar dan jumlah tenaga kerja yang juga besar sangat membutuhkan perkembangan sektor industri manufaktur yang memadai untuk mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan dan menciptakan kesempatan kerja yang luas. Pada masa pasca krisis Asia tahun 1998, pertumbuhan sektor manufaktur rendah, karena rendahnya investasi dan produksi. Hanya industri kendaraan bermotor yang dapat dikatakan berkembang dengan optimal. Alasan persaingan berat dengan China dapat dimengerti, namun jika Indonesia dapat memperbaiki lingkungan yang lebih kondusif bagi perkembangan industri manufaktur, Indonesia dapat mempunyai tempat tersendiri dalam persaingan dengan China sekalipun.
Permasalahan industri manufaktur selain semakin beratnya persaingan dengan produk dari China adalah berkaitan dengan kekakuan peraturan ketenagakerjaan yang membuat perusahaan industri terutama yang bersifat padat karya kesulitan terutama pada saat keadaan bisnis dan perekonomian mengalami penurunan. Perusahaan menghadapi permasalahan mahalnya biaya kompensasi pemberhentian tenaga kerja. Sebaliknya serikat pekerja menuntut lebih besar terhadap perusahaan. Permasalahan ini hanya dapat di atasi dengan perundingan ke dua belah pihak yang difasilitasi pemerintah.
Perusahaan industri Indonesia masih mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lain terutama China dalam struktrur biaya, termasuk tenaga kerja. Tantangannya adalah dalam peningkatan produktivitas. Pembiayaan dari perbankan akan mengalir jika perusahaan industri dapat memperbaiki kinerja keuangannya. Tuntutan pada kembali meningkatan tarif tampaknya sulit untuk dipenuhi dengan rezim perdagangan yang semakin bebas sebagai konsekuensi berbagai kesepakatan yang ditandatangani baik dalam WTO maupun berbagai FTA (Free Trade Agreement).
Sektor pertanian harapannya adalah pada semakin memperkuat perkebunan yang berorientasi ekspor, seperti CPO, karet, dan produk perkebunan lainnya. Kecenderungan meningkatnya harga komoditas mendorong perkembangan sub-sektor perkebenunan. Dengan kecenderungan meningkatnya lagi harga komoditas, maka peningkatan produksi pangan juga harus tetap menjadi prioritas agar Indonesia tidak kesulitan pada saat harga pangan tinggi lagi.
Sektor pertambangan yang mengalami perkembangan pesat adalah pertambangan batubara. Namun pertambangan lain termasuk minyak banyak mengalami kemunduran karena rendahnya investasi dan menurunnya produksi. UU Pertambangan yang baru di satu sisi memberikan perhatian lebih besar pada peran pemerintah dan produsen dalam negeri, namun di sisi lain menghambat perkembangan PMA di pertambangan. Selalu yang menjadi tantangan besar adalah menyembangkan peranan PMA dan perkembangan di dalam negeri baik produksi maupun konsumsi. Dengan kecenderungan meningkatnya harga komoditas, investasi di sektor pertambangan, termasuk migas, banyak menarik investor jika lingkungannya mendukung.
Sektor-sektor lainnya yang bersifat non-traded dapat dikatakan sudah dapat berkembang dengan baik tanpa banyak campur tangan pemerintah. Sektor perdagangan, telekomunikasi, konstruksi (perumahan), dan keuangan dapat dikatakan akan terus berkembang dengan mengandalkan dinamika bisnis. Kemungkinan meningkatnya kredit perbankan akan mendorong sektor-sektor tersebut seperti terjadi sebelumnya.
Proses industrialisasi yang terjadi pada masa orde baru yang dilakukan dengan gencar, cepat dan berhasil melakukan transformasi struktural perekonomian Indonesia, ternyata belum mengait ke belakang (backward linkage) ke sektor pertanian. Dengan kata lain, sektor pertanian tidak mendapatkan perhatian yang cukup seimbang dibandingkan dengan sektor industri. Ini berakibat pada tertinggalnya sektor petanian dari sektor industri. Tidak saja dalam struktur PDB, tetapi juga juga dalam struktur masyarakat, dimana sampai saat ini masyarakat yang hidup di sektor pertanian (petani) tak kunjung sejahtera dibandingkan masyarakat yang hidup di sektor industri. Nilai tukar petani juga belum membaik. Produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap mental dan budaya yang masih tradisional membawa kelompok masyarakat ini dalam ketertinggalan (Arif Satria, 1997).
Transformasi struktural bukan berarti meninggalkan sektor pertanian menuju sektor industri, tetapi menjadikan pangsa sektor industri terhadap PDB yang lebih besar dari sektor pertanian, yang disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri yang lebih tinggi akibat faktor eksternalitas industrialisasi yang lebih besar. Transformasi struktural yang telah dicapai di atas, akan kurang berarti apabila masih menyisakan adanya ketimpangan antarsektor atau ketertinggalannya suatu sektor dalam pembangunan. Karena proses pembangunan adalah proses yang saling mengkait antara satu sektor dengan sektor yang lain. Ketertinggalan suatu sektor dalam pembangunan akan mengakibatkan pertumbuhan pembangunan yang tidak seimbang dan tidak kokoh. Hal ini terbukti ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1998. Sektor industri mengalami keterpurukan yang dahsyat, sementara sektor pertanian – sektor yang tertinggal itu – sebagian besar masih mampu bertahan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa diungkapkan bahwa sektor pertanian menjadi penting dalam proses pembangunan, yaitu:
1. Sektor pertanian menghasilkan produk-produk yang diperlukan sebagai input sektor lain, terutama sektor industri, seperti: industri tekstil, industri makanan dan minuman;
2. Sebagai negara agraris (kondisi historis) maka sektor pertanian menjadi sektor yang sangat kuat dalam perekonomian dalam tahap awal proses pembangunan. Populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar. Hal ini menjadi pasar yang sangat besar bagi produk-produk dalam negeri baik untuk barang produksi maupun barang konsumsi, terutama produk pangan. Sejalan dengan itu, ketahanan pangan yang terjamin merupakan prasyarat kestabilan sosial dan politik;
3. Karena terjadi transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor industri maka sektor pertanian menjadi sektor penyedia faktor produksi (terutama tenaga kerja) yang besar bagi sektor non-pertanian (industri).
4. Sektor pertanian merupakan sumber daya alam yang memiliki keunggulan komparatif dibanding bangsa lain. Proses pembangunan yang ideal mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan kompetitif terhadap bangsa lain, baik untuk kepentingan ekspor maupun substitusi impor (Tambunan, 2001).
Dalam studi ini, penulis mencoba mendekati dengan sisi yang agak berbeda. Penulis memfokuskan kepada besaran ekspor pertanian dan non-pertanian serta pengaruhnya terhadap perekonomian yang diukur dengan produk nasional bruto. Nilai ekspor diambil karena memiliki kelebihan setidaknya produk yang diekspor adalah produk-produk yang memang dibutuhkan pasaran dunia dan mampu bersaing secara kualitas dan harga. Nilai ekspor pertanian adalah yang sesuai dengan klasifikasi yang dilakukan oleh BPS.
Ekspor non-pertanian (migas, industri dan lain-lain) telah memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding ekspor pertanian pada tahun 1981. Dan kemudian mengalami kenaikan terus menerus sampai tahun 1996 dan meninggalkan nilai ekspor pertanian yang mengalami peningkatan dengan nilai yang jauh lebih kecil. Pada tahun 1997, terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan peningkatan yang sangat drastis dari ekspor menurut harga berlaku yang diakibatkan oleh perubahan nilai tukar. Namun pada tahun 1998, terjadi penurunan drastis sebagai akibat krisis ekonomi tersebut dan kembali meningkat setelah tahun 1998. Jika dilihat menurut harga konstan 2000, ekspor pertanian stagnan cenderung meningkat, sedang ekspor non-pertanian mengalami peningkatan drastis sampai tahun 1997, kemudian turun drastis di tahun 1998 dan cenderung konstan setelah tahun 1998.
Selanjutnya akan diuraikan secara singkat perjalanan ekonomi Indonesia yang mencapai pertumbuhan yang relatif tinggi, baik selama periode stabilisasi dan rehabilitasi (1967-1972), zaman keemasan minyak (1973-1982), fase gejolak eksternal (1983-1986), era kebangkitan ekspor non migas (1987-1996) maupun fase krisis ekonomi (1997-2003).
Selama periode stabilisasi dan rehabilitasi, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7,23% setahun, dengan angka pertumbuhan terendah tercatat tahun 1967 (2,29%) dan tertinggi tahun 1969 (11,11%). Sedangkan dalam periode 1973-1982, perekonomian Indonesia mengalami zaman keemasan minyak akibat gejolak eksternal berupa kenaikan harga minyak yang sangat tajam di pasaran dunia yang dapat dinyatakan sebagai titik awal terciptanya angka pertumbuhan yang relatif tinggi, dimana rata-rata mencapai 7,37% setahun.
Pada fase gejolak eksternal (1983-1986), Indonesia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: pertumbuhan ekonomi merosot drastis menjadi hanya 4,88% per tahun. Menurut Sundrum (1988), faktor internal yang menjadi penyebab utama melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode tersebut adalah menurunnya pengeluaran pemerintah, investasi dan impor.
Sejak tahun 1987 Indonesia terus menempuh berbagai kebijakan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya kembali meningkat dari 4,93% (1987) menjadi 8,21% (1995) dan 7,82% (1996). Secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1987-1996 pulih hingga 6,90% per tahun.
Memasuki triwulan ke-4 tahun 1997, Indonesia diguncang oleh krisis moneter yang diakibatkan oleh menurunnya nilai tukar terhadap dollar Amerika. Krisis nilai tukar berlanjut menjadi krisis ekonomi, industri banyak yang gulung tikar yang bermula dari ketidakmampuan membeli bahan baku impor dan krisis perbankan. Krisis ini memberi dampak yang teramat buruk pada tahun 1998 dengan tingkat pertumbuhan ekonomi minus 13,3%, dan mulai membaik pada tahun-tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi merambat naik, 0,79% pada tahun 1999, 4,92% pada tahun 2000 dan kemudian bergerak pada kisaran 4% – 4,5% sampai dengan tahun 2003.