Kamis, 03 Januari 2013

Sistematika Penulisan Karya Ilmiah



Penulisan Karya Ilmiah (Pengantar)

Menulis adalah kegiatan yang memberdayakan diri sendiri dan orang lain. Karena ide, pemikiran, hal baru, sejarah, ataupun cerita dapat disampaikan kepada orang lain secara lebih luas melalui media tulisan.  Kesempatan besar untuk menyebarkan ide dan pemikiran perlu didukung dengan kemampuan menuliskan dan menyampaikan dalam bentuk tulisan secara baik. Itu artinya ide yang tertulis diharap dapat ditangkap, dan dimengerti oleh audiens yang dikehendaki atau dituju. Ide dan pemikiran yang dicurahkan dalam tulisan perlu ditetapkan tujuannya, baik tujuan menulis, dan kepada siapa tulisan ini ditujukan. Dengan demikian, penggunaan bahasa, istilah, dan ide yang akan disampaikan sesuai.
Mahasiswa selayaknya terlatih untuk menulis sejak sekolah dasar dan menengah. Bekal itu berguna di bangku kuliah ketika mereka dituntut melakukan analisis, dan berpikir kritis. Hasil pengamatan dan analisis kemudian dituangkan dalam tulisan yang bersifat ilmiah. Memang ada jenis tulisan yang tidak ilmiah, tetapi dalam kerangka akademik, mahasiswa diberdayakan untuk menulis karya tulis ilmiah.

PENGERTIAN KARYA ILMIAH
Karya Ilmiah adalah karya tulis yang disusun oleh seorang penulis berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang telah dilakukannya. Dari definisi yang lain dikatakan bahwa karya ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.
Dari pengertian tersebut secara awal kita dapat mengenal salah satu ciri khas karya ilmiah adalah lewat bentuknya yakni tertulis, baik di buku, jurnal, majalah, surat kabar, maupun yang tersebar di internet, di samping ciri lain yang mesti dipenuhi dalam sebuah karya ilmiah.

TUJUAN DAN KEGUNAAN
Pada hakikatnya penulisan karya ilmiah pada mahasiswa bertujuan:
  1. Sebagai wahana melatih mengungkapkan pemikiran atau hasil penelitiannya dalam bentuk tulisan ilmiah yang sistematis dan metodologis.
  2. Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama setelah penyelesaian studinya.
  3. Karya ilmiah yang telah ditulis itu diharapkan menjadi wahana transformasi pengetahuan antara STAIN dengan masyarakat, atau orang-orang yang berminat membacanya.
  4. Membuktikan potensi dan wawasan ilmiah yang dimiliki mahasiswa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam bentuk karya ilmiah setelah yang bersangkutan memperoleh pengetahuan dan pendidikan dari jurusannya.
  5. Melatih keterampilan dasar untuk melakukan penelitian.
KESALAHAN YANG SERING TERJADI
Sebetulnya mahasiswa terlebih para sarjana memiliki modal kemampuan menulis. Hanya saja kemampuan tersebut haruslah senantiasa diasah agar tidak tumpul. Seorang mahasiswa serta sarjana yang memiliki kemampuan menulis akan lebih sukses daripada yang tidak memiliki kemampuan tersebut.
Beberapa bentuk kesalahan yang sering dijumpai dalam tulisan antara lain:
  1. Salah mengerti audience atau pembaca tulisannya.
  2. Salah dalam menyusun struktur pelaporan.
  3. Salah dalam cara mengutip pendapat orang lain sehingga berkesan menjiplak (plagiat).
  4. Salah dalam menuliskan bagian Kesimpulan, penggunaan Bahasa Indonesia (akan dibahas secara khusus) yang belum baik dan benar.
  5. Tata cara penulisan “Daftar Pustaka” yang kurang tepat (tidak standar dan berkesan seenaknya sendiri).
  6. Tidak konsisten dalam format tampilan (font yang berubah-ubah, margin yang berubah-ubah).
  7. Isi yang terlalu singkat karena dibuat dengan menggunakan point-form seperti materi presentasi.
  8. Isi justru terlalu panjang dengan pengantar introduction yang berlebihan.

CONTOH KERANGKA LAPORAN HASIL PENELITIAN :


A. Bagian Pembuka :
  • Halaman judul.
  • Lembar pengesahan.
  • Kata pengantar.
  • Daftar isi.
  • Daftar Lampiran.


B. Bagian Isi :

Bab    I    Pendahuluan
  •  Latar belakang masalah.
  • Rumusan masalah.
  • Tujuan penelitian.
  • Manfaat penelitian.


Bab  II    Kajian teori atau tinjauan kepustakaan

  • Pemahasan teori
  • Kerangka pemikiran dan argumentasi keilmuan
  • Pengajuan hipotesis


Bab III    Metodologi penelitian

  • Waktu dan tempat penelitian.
  • Metode dan rancangan penelitian
  • Populasi dan sampel.
  • Instrumen penelitian.
  • Pengumpulan data dan analisis data.



Bab  IV    Hasil Penelitian

  • Jabaran varibel penelitian.
  • Hasil penelitian.
  • Pengajuan hipotesis.
  • Diskusi penelitian, mengungkapkan pandangan teoritis tentang hasil yang didapatnya.



Bab   V    Kesimpulan dan saran



C. Bagian penunjang


  • Daftar pustaka.
  • Lampiran- lampiran antara lain instrument penelitian.

Sumber:

Perbedaan Antara Kontekstual dan Konseptual


PENDEKATAN KONTEKSTUAL

Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Dengan prinsip penmbelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya. Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pembelajaran dengan cara seperti di atas disebut pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning, CTL), yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.
Pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis kompetensi menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi-kemampuan-pangabisa, tidak sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional individu akan mempengaruhi pemikiran dan prilakunya, oleh karena itu CTL akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan.
Pendekatan kontekstual dapat membuat variasi dalam pembelajaran dan hasil belajar yang diharapkan dapatdicapai. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang sering dipakai oleh para guru antara lain: pendekatan konsep dan proses, pendekatan deduktif dan induktif pendekatan ekspositori dan heuristik, pendekatan kecerdasan dan pendekatan konstektual. Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yakni: (1) kontruktivisme (Constuctivism), (2) bertanya (Questioning), (3) menemukan (Inquiri), (4) masyarakat belajar (Learning Community), (5) permodelan (Modeling), (6) Refleksi (Reflection), (7) penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). 
Jonhson (2007:67) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran konstekstual atau CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah sebuah proses pendidikan yang menolong para siswa melihat makna dalam materi akademik dengan konteks dalam kehidupan seharian mereka, yaitu konteks keadaan pribadi, social, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: (1) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pekerjaan yang diatur sendiri, (4) melakukan kerja sama, (5) berfikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, (8) menggunakan penilaian autentik.  
Pendekatan kontektual atau Contextual Teching and Learning, Wina (2005:109) menjelaskan, suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual yaitu :
(a) Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge).
(b) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowlwdge).
(c) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk diyakini dan dipahami.
(d) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
(e) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
Setiap bagian pendekatan kontekstual atau CTL yang berbeda ini akan memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik.
Wina (2005:125) menjelaskan beberapa hal penting dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual atau CTL sebagai berikut:
(a) CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
(b) CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi porses pengalaman dalam kehidupan nyata.
(c) Kelas dalam pembelajaran CTL, bukan sebagai tempat memperoleh informasi, akan tetapi sebagi tempat untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.
(d) Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian orang lain.


PENDEKATAN KONSEPTUAL

I.     Pengertian Pendekatan Konsep
Pendekatan (approach) adalah suatu istilah yang memilki kemiripan dengan strategi. Menurut Wina Sanjaya (2008: 127)  pendekatan adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu strategi dan metode  pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu..  
Konsep merupakan buah pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam defenisi sehingga melahirkan produk pengetahuan berupa prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan konsep adalah menjelaskan dan meramalkan sesuatu pengetahuan.
Menurut Richard I. Arends (2008: 322), bahwa konsep dalam subjek apapun adalah balok-balok bangunan dasar untuk berpikir, terutama untuk pemikiran tingkat tinggi. Konsep memungkinkan individu-individu untuk mengklasifikasikan berbagai objek, ide dan membuat aturan serta prinsip tentang itu. Konsep menjadi fondasi bagi jaringan (skemata) ide yang menuntun pemikiran kita. Mempelajari konsep sangat penting di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari karena konsep memungkinkan orang-orang untuk saling memahami dan menjadi dasar untuk interaksi verbal.
Pendekatan konsep  adalah suatu pendekatan pengajaran yang secra langsung menyajikan konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu diperoleh (Sagala, 2008: 71).  
Pengajaran konsep (concept teaching), adalah cara di mana guru dapat membantu siswa untuk memperoleh dan mengembangkan konsep-konsep dasar yang dibutuhkan untuk pembelajaran lebih lanjut dan pemikiran tingkat tinggi. Model pengajaran konsep tidak dirancang untuk mengajarkan sejumlah besar informasi kepada siswa. Tetapi dengan mempelajari dan menerapakan konsep-konsep kunci dalam subjek tertentu, siswa akan mampu mentransfer berbagai pembelajaran spesifik ke bidang-bidang yang lebih umum. Faktanya, tanpa pemahaman yang sama tentang konsep-konsep kunci, pembelajaran tentang isi dalam bidang-bidang studi tertentu nyaris mustahil terjadi.
Ada dua pendekatan pengajaran konsep yaitu pendekatan direct presentation (prosentasi langsung) dan pendekatan concept attainment (pencapaian konsep).
Persyaratan pengajaran untuk pencapaian konsep adalah tersedianya contoh-contoh yang menunjukkan kesamaan-kesamaan dalam beberapa hal dan perbedaan-perbedaannya. Individu yang berhadapan dengan contoh-contoh tersebut harus menemukan sendiri atau dibertahu oleh guru apakah setiap unsur dari contoh itu menunjukkan suatu konsep. Pada setiap kali bertemu dengan contoh itu siswa merumuskan hipotesis tentang contoh itu. Setiap contoh itu akan menunjukkan/menyajikan informasi tentang karakteristik dan nilai atribut dari konsep.
    II.            Landasan Teori
      Pendekatan konseptual/konsep ini dikembangkan dari karya Jean Piaget, Jerome Bruner, David Ausubel, dan Howard Gardner. Studi-studi mereka menunjukkan bagaimana berpikir konseptual berkembang pada anak-anak dan remaja  di mana pendekatan pengajaran konsep mempengaruhi pembelajaran kognitif mereka (Arends, 2007: 232). Tugas guru dalam pendekatan ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan siswa dalam memproses informasi. Guru menciptakan lingukungan/kondisi agar siswa mampu memiliki kemampuan berikut: dapat menangkap stimulus dari lingkungan, dapat menemukan masalah/konsep, dan  dapat mengembangkan pemecahan masalah baik secara verbal maupun nonverbal.
Menurut Jerome Bruner, J. Goodnow dan George Agustin (Mulyan1,1999: 46) bahwa model pencapaian konsep dilandasi bahwa lingkungan banyak ragam dan isinya sehingga manusia/siswa mampu membedakan objek-objek dengan aspek-aspeknya. Dengan kata lain siswa harus mampu berpikir tingkat tinggi menentukan kategori untuk membentuk konsep-konsepnya. Kategori ini memungkinkan siswa untuk mengelompokkan objek-objek dengan perbedaan yang nyata berdasarkan karakteristik untuk mengurangi kerumitan lingkungan. Proses berpikir seperti ini oleh Bruner dan kawan-kawannya, dinamakan kategorisasi. Kegitan kategorisasi mempunyai dua komponen yaitu kegiatan pembentukan konsep dan kegiatan pencapaian konsep.
Selanjutnya kita akan melihat hubungan antara konsep dan berpikir tingkat tinggi, sifat konsep, dan bagaimana cara terbaik untuk membelajarkan konsep kepada siswa.
1.      Konsep dan Berpikir Tingkat Tinggi.
Belajar konsep lebih dari sekedar mengklasifikasikan berbagai objek dan membentuk berbagai kategori. Belajar konsep melibatkan proses mengontruksikan pengetahuan dan mengorganisasikan informasi menjadi struktur-struktur yang komprehensif dan kompleks. Seperti kita ketahui, siswa datang ke sekolah dengan beragam pengetahuan  yang mereka jadikan dasar untuk membentuk berbagai konsepsi atau skemata tentang dunia fisik atau sosial. Skemata ini adalah cara siswa untuk melihat dunia. Kadang-kadang konsepsi yang dimiliki siswa akurat, tetapi  sering kali intuitif, naif, dan bahkan merupakan interpretasi yang keliru tentang realitas.  Perubahan konsepsi yang keliru membutuhkan berbagai proses pengajaran yang memungkinkan siswa menjadi sadar  akan skemata yang sudah dimlikinya. Sehingga guru dapat membantu siswa untuk mengembangkan konsep-konsep baru dan memformulasikan cara berpikir yang sudah ada.
2.      Sifat Konsep
Konsep dapat  digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dan pengalaman ke dalam berbagai macam kategori. Jika konsep digunakan dalam kaitannya dengan pembelajaran, konsep memiliki arti yang lebih tepat dan mengacu pada tata cara pengetahuan dan pengalaman mengkategorisasikan.
Pengajaran konsep pada dasarnya adalah meletakkan berbagai macam hal ke dalam golongan-golongan  dan setelah itu mampu mengenali anggota-anggota golongan itu.  Hal ini mengharuskan individu untuk mampu mengambil kasus tertentu, misalnya anjing piaraan yang bernama Max, dan menempatkannya ke  golongan umum objek yang dalam kasus ini diberi nama anjing, yang memiliki atribut-atribut  tertentu yang sama. Proses ini membutuhkan judgment tentang apakah sebuah kasus merupakan salah satu contoh dari sebuah golongan yang lebih besar.


3.      Cara Membelajarkan Konsep Kepada Siswa.
Menurut Bruner dalam  Sumantri &  Purnama ( 1999: 47) konsep itu mempunyai lima elemen yaitu: 1) nama, 2) contoh-contoh (positif dan negatif), 3) atribut kritis (esensial) dan non kritis (non esensial), 4) nilai-nilai atribut, dan 5) aturan. Memahami konsep berarti mengetahui semua elemen dari konsep itu.
Contoh nama misalnya buah, anjing, rumah. Meskipun benda-benda tertentu dikelompokkan bersama dalam satu kategori, tetapi di antara benda-benda itu terdapat perbedaan (buah misalnya, sangat banyak dan bervariasi), hanya di antaranya terdapat ciri-ciri tertentu yang menyebabkan buah-buah itu dikelompokkan menjadi istilah umum.
Elemen kedua adalah contoh-contoh dari konsep, kepada siswa ditunjukkan berbagai macam buah, seperti mangga (jumlah terbanyak), jeruk dan jambu. Jeruk dan jambu merupakan contoh yang negatif sedangkan mangga yang positif. Bagian dari pemahaman konsep ialah mengenai contoh-contoh positif  dan dapat membedakan dari contoh-contoh negatif.
Elemen ketiga dan keempat, adalah atribut dan atribut value. Atribut adalah kata karakteristik umum yang memungkinkan kita untuk contoh-contoh satu kategori yang sama. Pada contoh buah di atas, atribut esensial (kritis) adalah mengandung air (kering), berbiji, manis (asam), hijau, dapat dimakan dan berharga. Tidak semua karakteristik esensial bagi konsep. Harga misalnya, tidak mempunyai peran khusus untuk membedakan buah dan makanan atau benda lainnya. Karena itu harga merupakan atribut non esensial. Memahami konsep berarti mampu membedakan atribut esensial dan atribut non esensial.
Elemen terakhir adalah rule (aturan) yang merupakan defenisi atau pernyataan yang mengkhususkan atribut esensial dari suatu konsep. Seperti contoh konsep buah: mangga adalah buah yang mengandung air, berbiji, manis, berwarna hijau dan dapat dimakan. Contoh lain, pohon adalah tumbuhan yang hidup bertahun-tahun dan memiliki batang tumbuh tunggal dan berkayu.
Yang membedakan suatu konsep dari konsep lainnya adalah kombinasi atribut. Jeruk dan jambu bias dikatakan sama bentuknya tetapi atribut lainnya berbeda, misalnya dalam tekstur dan rasanya. Sebelum menyampaikan daftar contoh-contoh kepada siswa, guru terlebih dahulu menganalisis konsep, pertama-tama mengindentifikasi atribut yang esensial. Selanjutnya guru dengan hati-hati memilih contoh-contoh positif yang mengandung atribut konsep.
 III.            Merencanakan dan Melaksanakan Pembelajaran Konsep
              Berbagai prosedur dan pedoman yang dibuat untuk merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan pencapaian konsep/pendekatan konseptual.
1.      Merencanakan Pembelajaran Konsep.        
Selama fase perencanaan pembelajaran konsep, guru harus membuat keputusan tentang konsep apa saja yang akan dibelajarkan dan pendekatan mana yang akan digunakan. Guru harus melakukan sebuah pekerjaan menyeluruh, yakni menetapkan dan menganalisis konsep-konsep yang dibelajarkan dan memutuskan contoh-contoh dan bukan contoh mana yang akan digunakan dan cara terbaik untuk menyajikannya kepada siswa selama pembelajaran.
Adapun tugas guru dalam merencanakan pembelajaran konsep adalah:
a.       Memilih  Konsep.
Kurikulum ( KTSP) adalah sumber utama untuk memilih konsep-konsep yang akan dibelajarkan. Konsep-konsep itu mungkin terdapat dalam textbook yang digunakan guru. Pengajaran konsep selalu diajarkan bila materinya berisi istilah-istilah yang tidak familier, serangkaian langkah yang tidak diketahui oleh siswa, atau penggunaan aturan tertentu yang baru bagi siswa. Dalam proses memilih konsep-konsep yang akan dibelajarkan sangat penting, karena membantu siswa memahami sebuah konsep sangat berarti dari pada  sekedar membuat mereka mampu memberikan defenisi tentang konsep.
b   Memutuskan Pendekatan yang Akan Dipakai.
Pengajaran konsep memiliki beberapa elemen, seperti nama, atribut-atribut, nilai-nilai atribut, contoh dan bukan contoh, serta aturan. Guru memilih pendekatan konseptual yang akan digunakan dalam menangani setiap elemen ini. Pada pendahuluan sudah dijelaskan ada dua pendekatan pengajaran/pembelajaran konsep yaitu: direct presentation (presentasi langsung)  dan concept attainment (pencapaian konsep). Pendekatan prosentasi langsung menerapkan rule to example process (proses dari aturan ke contoh)  deduktif, di mana guru mula-mula menyebutkan nama-nama konsep dan mendefenisikannya, lalu memberikan beberapa contoh dan bukan contoh kepada siswa untuk menguatkan pemahaman mereka tentang konsep itu. Sedangkan pendekatan pencapaian konsep menggunakan  example to rule process (proses dari contoh ke aturan), mula-mula guru memberikan contoh dan bukan contoh tentang suatu konsep, kemudian siswa menemukan atau mencapai konsep itu  melalui proses penalaran induktif. Memberi label dan mendefenisikan konsep itu ada dibagian akhir dan bukan dibagian awal pembelajaran.
Pendekatan yang digunakan seoarang guru bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, karakteristik siswa yang diajarkan, dan sifat konsepnya. Pendekatan prosentasi langsung, biasanya digunakan untuk  mengembangkan pengetahuan tentang sebuah konsep yang mana pengetahuan sebelumnya sudah atau tidak dimiliki siswa. Pendekatan pencapaian konsep  digunakan apabila siswa sudah memiliki beberapa pemahaman tentang konsep dan tujuan pembelajarannya adalah untuk mengeksplorasi  atribut-atribut esensial konsep tertentu.
c.  Mendefenisikan konsep.
Atribut-atribut esensial (kritis) atau penentu adalah kategori yang ada disetiap contoh konsep dan membedakannya dengan semua konsep-konsep lainnya. Sebagai contoh konsep pohon, dapat difenisikan “ tumbuhan yang hidup bertahun-tahun dan memilki sebuah batang tumbuh tunggal berkayu”. Defenisi ini memasukkan atribut-atribut esensial: tumbuhan, hidup bertahun-tahun, batang tumbuh tunggal, dan berkayu.
Atribut-atribut non esensial (non kritis) juga masuk dalam gambaran/konsep pohon, Sebagai contoh  ukuran, bentuk, dan warna adalah atribut-atribut non esensial dari konsep pohon.
Pada dasarnya ada tiga langkah dalam mendefenisikan suatu konsep: 1) indentifikasi nama konsepnya, 2) buat daftar atribut-atribut esensial dan non esensial, 3) tulis defenisi ringkasnya.
d.      Menganalisis Konsep.
Setelah sebuah konsep dipilih dan didefenisikan dalam kaitannya dengan atribut-atributnya, konsep itu perlu dianalisis untuk mencari beberapa contoh dan bukan contohnya. Pemilihan contoh dan bukan contoh merupakan aspek yang paling sulit dalam perencanaan pembelajaran konsep. Contoh berfungsi sebagai penghubung antara abstraksi konsep dengan pengetahuan dan pengalaman yang sebelumnya sudah dimiliki siswa. Contoh harus bermakna bagi siswa dan harus sekonkrit mungkin.
e.       Memilih dan mengurutkan Berbagai Contoh dan Bukan Contoh.
Berbagai contoh dan bukan contoh yang dipilih untuk mengilustrasikan sebuah konsep sangat penting. Ketika memilih sebuah contoh guru akan sering membuat atribut-atribut non esensial konsep itu berbeda mungkin, hal ini akan membantu siswa untuk memfokuskan pada atribut-atribut esensial yang sama pada setiap contoh. Sebagai contoh guru mau mengembangkan konsep serangga, guru mungkin memasukkan kutu air dan semut yang hidup lingkungan yang berbeda tetapi memiliki atribut esensial yang sama.
f.       Menggunakan Gambar-gambar Visual.
Gambar-gambar visual mempengaruhi dan mendukung  pembelajaran kosep. Gambar membantu siswa untuk cepat  menemukan atribut-atribut esensial.
g.      Merencanakan Waktu dan Ruang.
Mengalokasikan waktu yang cukup dan menggunakan ruang kelas adalah tugas guru sebagai perencana untuk pembelajaran konsep. Waktu bergantung pada tingkat dan kemampuan kognitif siswa dan kompleksnya konsep yang dibelajarkan.  Penggunaan ruang untuk pembelajaran konsep, guru lebih suka menggunakan formasi tempat duduk baris dan lajur tradisional.
2.          Melaksanakan Pembelajaran Konsep.
a.       Sintaks pembelajaran pencapaian konsep memiliki tiga fase kegiatan (Joyce & Weills, 1996: 173)  yaitu:
Fase pertama : Penyajian data dan indentifikasi konsep
            Prilaku guru dan siswa pada fase ini adalah sebagai berikut:
1)      Guru menyajikan contoh-contoh konsep yang sudah diberi label.
2)      Siswa membandingkan atribut-atribut dalam contoh positif dan contoh negatif.
3)      Siswa menggeneralisasikan dan menguji hipotesis.
4)      Siswa membuat defenisi tentang konsep menurut atribut-atribut esensial yang diketemukan.
Fase kedua: Menguji pencapaian konsep.
Perilaku guru dan siswa pada fase kedua ini adalah:
1)      Siswa mengindentifikasi tambahan contoh yang tidak diberi label dengan mengatakan “ya” atau “bukan”,
2)      Guru menegaskan hipotesis, nama konsep, dan menyatakan kembali defenisi konsep sesuai dengan atribut-atribut esensial,
3)      Siswa menemukan contoh-contoh konsep.
Fase ketiga : Menganalisis strategi berpikir.
            Perilaku guru dan siswa pada fase ini adalah:
1)      Siswa mengungkapkan apa yang dipikirkannya,
2)      Guru membantu siswa mendiskusikan hipotesis dan atribut-atribut konsep,
3)      Siswa mendiskusikan tipe/jenis dan jumlah hipotesis.
b.      Lingkungan Belajar
Pendekatan/model pembelajaran ini memiliki struktur yang moderat. Guru melakukan pengendalian terhadap aktivitas (pembelajaran berpusat pada guru), tetapi dapat dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas dalam fase-fase itu. Interaksi antar siswa digalakkan oleh guru. Selama pembelajaran guru diharapkan membantu siswa dalam menemukan dan penyususn hipotesis untuk kemudian didiskusikan membandingkan dengan hipotesis yang disusun oleh siswa lain. Dengan pengorganisasian kegiatan itu diharapkan siswa akan lebih dapat memperlihatkan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri selama pembelajaran.
c.       Evaluasi    
Pendekatan pembelajaran pencapaian konsep ini merupakan alat penilai yang baik, apabila guru ingin menentukan apakah gagasan-gagasan penting yang telah diperkenalkan sudah dikuasai siswa atau belum. Model pembelajran ini dengan cepat mengungkapkan kedalaman pemahaman siswa dan juga dapat menguatkan pengetahuan siswa sebelumnya.
Bentuk soal yang digunakan dalam evaluasi pembelajaran pencapaian konsep adalah soal pilihan ganda atau soal uraian singkat. Soal-soal dapat disesuaikan dengan tujuan tes dan karakteristik siswa. Di lihat dari penggunaannya selama proses pembelajaran, pendekatan/model pembelajaran pencapain konsep ini mempunyai dampak pengajaran langsung (instructional effect) dan dampak pengajaran pengiring (nuturant effect).



Sumber:
-          http://wwwpojokfisikauniflor.blogspot.com/2011/08/pendekatan-konseptual.html